Prosa ( 1 )
Abimanyu nanar tatapan matanya memandangi genangan darah yang bergerak perlahan-lahan semakin meluas memenuhi kemahnya. Kental merah anggur keungu-unguan dan semburat berkilat-kilat kena cahaya dari luar. Matahari sudah amat condong ke barat. Hari telah sore, sebuah bola besar emas yang kadang-kadang nampak berlumuran darah yang berlelehan di angkasa. Sebuah bola besar emas yang setiap hari selalu menjadi pertanda dimulainya perang besar antara 2 saudara 1 keluarga darah Belanda. Dan apabila ia lenyap ditelan malam, maka ke-2 saudara keluarga besar itu menghentikan peperangannya.
( "Nostalgia", Danarto )
Prosa ( 2 )
Ia selalu meloncat ke arah punggung seekor kuda, dipacunya kencang-kencang. Dipacu terus. Kencang-kencang. Segerombolan pasukannya mengikutinya dari belakang, tetapi tertinggal jauh. Ia terus memacu kudanya maju ke depan, menerjang, menghantam, menghancurkan pasukan-pasukan Kurawa hanya dengan sebilah kerisnya. Pasukan-pasukan lawan yang tidak menduga mendapat serangan dari seorang ksatria yang sendirian ini, buyar dan giris. Apalagi ksatria ini galak bagai banteng luka. Sementara pasukan gajah Pandawa menghantam terus dengan akibat luka-luka besar pada pasukan Kurawa, Abimanyu mengorek luka dari dalam sedikit demi sedikit. Pasukan Kurawa yang sudah begitu repot menghadapi pasukan gajah ini, mereka kaget sekali setelah diketahuinya bahwa dalam pasukannya terdapat orang asing. Dan orang asing itu adalah Senopati Pandawa.
( "Nostalgia", Danarto )
sumber dari : Buku "Pengantar Apresiasi Karya Sastra" (Drs. Aminuddin, MPd)
No comments:
Post a Comment